Sabtu, 27 April 2019

TERORISME DALAM HUKUM PIDANA ISLAM


الحرابة  ( terorisme dalam hukum pidana islam)
1.    Pengertian Hirabah (الحرابة)
 الحرابة : هي الخروج لاخذالمال على سبيل المغاللبة اوسرقة الكبرى
“hirabah ialah keluar (rumah)  untuk mengambil harta dengan paksa atau pencurian besar” [1]
A.     Al-hirabah  (الحرابة ) di sebut juga Qath’u Ath-Ath-Thariq(قطع اطريق), yaitu penyamun atau pembegal. Mereka adalah segerombolan orang atau sekelompok bersenjata yang ada di wilayah negara islam yang bertujuan membuat kekacauan, menumpahkan darah, mengambil harta, membunuh manusia, menghancurkan anak dan keturunan; dimana semua itu sangat bertentangan dengan agama, akhlak, aturan, dan undang-undang.disini tidak dibedakan apakah pelakunya berasal dari kaum muslin, kafir dzimmi, kafir mu’ahad, maupun kafir harbi.selagi hal itu terjadi diwilayah islam, dan pelakunya me  nghalalkan darah kaum muslim dan kafir dzimmi.[2]
Ayat al qur an yang menjelaskan tentang hirabah terdapat dalam al maidah ayat 33






hukuman bagi orang-orang yang memerangi allah dan rasulnya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah di bunuh atau di salib, atau di potong tangan dan kaki mereka secara silang, atau di asingkan dari tempat kediamannya, yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar (QS-AL-maidah:33)
2.     Syarat-syarat hirabah ( لسروط الحربة )
a.       Suatu kasus dapat di sebut tindak pidana al-hirabah (الحربة) apabila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
o   Pelaku adalah orang yang di lindungi darahnya.
o   Pergi keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan dan menakut-nakuti orang di jalan.
o   Adalah unsur terang-terangan.
o   Adanya unsur mengangkat senjata.
Dari ke empat keriteria tersebut, imam majhab berbeda pendapat tentang alat yang di pergunakan sebagai senjata. Menurut imam abu hanifah dan imam ahmad, dan mensyaratkan adanya senjata sebagai alat yang dapat di gunakan untuk membunuh, seperti tongkat, batu besar atau kayu.
      Menurut imam malik dan imam al-syafi’i, cukup dengan mempergunakan kekuatan atau tenaga dari pelakunya, bahkan imam malik menganggap bahwa mengambil harta dengan memakai tipuan dalam kondisi tertentu atau menggunakan anggota badan seperti tinjuan, pukulan atau tamparan, merupakan al hirabah. Lain halnya dengan dengan golongan syafi’iyah yang mensyratkan adanya al-syaukah.
b.      Untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku hirabah terdapat beberapa syarat, yaitu :
o  Pelaku hirabah orang mukallaf
o  Pelaku hirabah membawa senjata
o  Lokasi hirabah jauh dari keramaian
o  Tindakan hirabah secara terang-terangan
Terhadap empat syarat di atas, para ulama’ fiqh masih berbeda pendapat.
Oleh kareana itu, bagi keempat syarat di atas kami jelaskan satu persatu sebagai berikut:
1.      Pelaku hirabah orang mukallaf:
Mukallaf adalah syarata untuk dapat di tegakkan suatu hadd padanya. Kemudian mukaalaf adalah orang yang berakal dan dewasa, anak kecil dan orang gila tidak bisa di anggap sebagai pelaku hirabah yang harus di hadd,  sungguhpun ia terterlibat dalam sindikat hirabah. Karena orang kecil dan orang gila tak bisa di bebani atau hukum menurut syara’.
Mengenai anak kecil dan orang gila yang terlibat dalam sindikat hirabah ini bagi para ulama’ fiqh tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi para ulama’ fiqih berbeda pendapat mengenai sindikat hirabah, dimana anggota
-anggotanya terdiri dari anak kecil atau orang gila dan orang-orang dewasa serta berakal. Apakah di samping gugur dari anak kecil, dab orang gila, hadd juga gugur, dan orang gila, hadd juga gugur bagi orang-orang dewasa dan berakal.?
Ahnaf mengatakan, hadd gugur bagi orang-orang dewasa dan berakal tersebut. Bila anak kecil dan orang gila di bebaskan, maka orang-orang dewasa dan berakal yang menjadi teman sindikatnya juga di bebaskan dari hadd. Karena mereka, baik anak kecil, dan orang-orang dewasa serta berakal yang tergabung dalam satu sindikat adalah sama-sama bertanggung jawab. Dan bila had hirabahnya gugur, maka pekerjaan yang ia lakukan harus di perhitungkan sebagai mana mestinya yang sesuai dengang tindak kejahatan yang ia lakukan dalam hirabah itu. Bila tindak kejahatannya itu pembunuhan, maka urusan ini di serahkan kepada keluarga si terbunuh, apakah ia memaafkan atau menuntut perkara. Demikian seterusnya dalam tindakan-tindakan jahat lainnya.
            Kesimpulan pendapat majhab maliki dan dzahiri adalah bahwa hadd hirabah gugur bagi anak kecil dan orang gila, tetapi tidak gugr bagi orang dewasa dan berakal yang menjadi temanan sindikatnya. Karena had hirabah adalah hak allah. Sedangkan dalam melaksanakan hak allah itu anak kecil dan orang gila tidak boleh di samakan dengan orang dewasa serta berakal.
Selanjutnya dalam masalah hirabah, “lelaki” dan “merdeka” bukanlah merupakan syarat untuk menjatuhkan hadd. Orang perempuan dan budak kadang-kadang juga ada yang kuat seperti kaum laki-laki dalam mengatur siyasat kejahatan, mempergunakan senjata, dan melancarkan tindkan-tindakan jahat. Karena itu, hukum hirabah juga berlaku kepada orang perempuan dan budak.
2.      Pelaku hirabah membawa senjata:
Untuk dapat menjatuhkan hadd hirabah di syaratkan pula bahwa dalam melancarkan hirabah pelakunya terbukti membawa senjata. Karena senjata itulah yang merupakan kekuatan yang di andalkan olehnya dalam melancarkan hirabah. Bila ia tidak membawa senjata, maka tindakannya tak bisa di katakan hirabah.
Sekarang bagaimana bila ia bersenjatakan batu dan tongkat saja ? apakah tindakannya itu di hukumi hirabah ?  para ulam berpendapat.
Imam syafi’i, malik, pengikut hambalali, abu yusuf, abu tsaur, dan ibnu hazn mengatakan bahwa tindakannya di hukumi hirabah, meskipun hanya bersenjatakan batu dan tongkat. Karena dalam tindkan hirabahtidak ada ketentuan mengenai jenis senjata. Yang di anggap sebagai hirabah adalah motif tindak kejahatannya itu, dan bukan jenis senjatanya. Abu hanifah mengatakan bahwa tindakan yang hanya bersenjatakan baut dan tongkat tersebut tidak di hukumi sebagai tindakan hirabah.
3.      Lokasi hirabah jauh dari keramaian :
Sebagian ulama’ menjelaskan bahwa untuk dapat menjatuhkan hadd hirabah di syaratkan pula lokasi hirabah yang di lancarkan pelakunya ada di tempat padang yang jauh dari keramaian.
            Jadi hirabah sama dengan tindakan samun. Dengan demikian, bila tindakan kejahatan itu dilakukan keramaian, maka itu bukanlah tindakan hirabah atau samun. Karena yang dinamakan tindakan hirabah atau samun adalah di tempat padang yang jauh dari keramaia. Selain itu, bila terjadi tindakan kejahatan di keramaian, maka korban bisa minta pertolongan sehingga kekuatan pelaku kejahatan dapat di patahkan. Demikian menurut pendapat abu hanifah, tsauri, ishak, dan manyoritas ulama’ fiqih dari golongan syi’ah. sekelompok ulama’ lain mengatakan bahawa tindak kejahatan di tempat padang dan di tempat keramaian sama saja bernama hirabah. Karena ayat mengenai hirabah secara umum menyabgkut segala hirabah, baik di tempat padang atau keramaian.
4.      Tindakan hirabah secara terang-terangan
Termasuk syarat hirabah yang harus di hadd, adalah tindakan tersebut dilakukan secara terang-terangan. Bila ia melakukan hirabah terhadap harta secara sembunyi-sembunyi, maka ia pencuri namanya. Bila ia merebut harta kemudian lari, maka ia penjamret atau perampas namanya.

3.     antara pencurian ( sariqah) dengan perampokan / gangguan keamanan (hirabah) مقارنة  بين اسرقة والحربة
Walaupun tindak pidana hirabah dinamakan pencurian besar (sariqah qubra) ia tidak benar-benar mirip dengan pencurian. Pencurian adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan hirabah adalah keluar( rumah) untuk mengambil harta dengan cara paksa. Unsur pencurian yang paling dasar adalah mengambil harta saja, sedangkan unsur hirabah adalah keluar untuk mengabil harta, baik pelaku mengambil harta atau maupun tidak. Seorang dikatakan pencuri jika ia mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan dikatakan muharrib ( perampok/pengganggu keamanan ) jika ia berada dalam beberapa kondisi.
·         Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu menakut-nakuti orang yang berjalan, tetapi ia tidak mengambil harta dan membunuh orang.
·         Jika ia kelua untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta, tetapi tidak membunuh.
·         Jika ia keluar untuk mengabil harta dengan cara kekerasan lalu membunuh, tetapi tidak mengambil harta.
·         Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta dan membunuh.
a.    Terorisme dalam pandangan islam
            Persoalan utama dalam aksi terorisme dalam pandangan islam adalah pemaknaan kata jihad. Para aktifis muslim dituding sebagai penyebar ajaran teror memahami jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap para penolak islam. Mereka memahami jihad sebagai balas dendam karena kafir telah memerangi islam secara tidak terbatas, maka wajib pula muslim memerangi kafir secara tidak terbatas.
Dalam memahami konsep jihad dalam hukum islam dibagi menjadi empat tahapan. Pertama, kaum muslimin diperintahkan menahan diri untuk bersabar dan tidak melakukan pembalasan terhadap penindasan, kekejaman dan celaan kafir Quraisy. Kedua, tahapan sebatas diizinkan berperang tetapi belum diperintahkan berperang, sehingga belum ada kewajiban berperang. Ketiga, tahapan diwajibkan memerangi kaum kafir secara terbatas, hanya kaum kafir yang memerangi kaum muslimin sedangkan kaum kafir yang tidak memerangi kaum muslimin tetap tidak diperangi. Keempat, tahapan yang mewajibkan kaum muslimin untuk memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik.
Larangan melakukan tindakan kekerasan atas nama agama (jihad) atau terorisme telah diputuskan oleh majelis ulama indonesia (MUI) 2003 dengan mengeluarkan fatwa yang mengharamkan atas tindakan tersebut. Ketua dewan fatwa MUI, Kiai Ma’ruf Amin menyampaikan fatwa tersebut karena Indonesia bukan wilayah perang dan terorisme adalah perbuatan haram.
Dalam hukum pidana islam, terorisme dimasukkan kedalam golongan jarimah hirabah. Golongan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yaitu pengambilan hak orang secara terang-terangan disertai tindak kekerasan.
Dalam kaidah hukum islam disebutkan bahwa hukum islam dapat diberlakukan kepada siapa saja dalam dar as-salam. Dalam kaidah lain disebutkan bahwa suatu perbuatan tidak akan dikenai hukuman kecuali berdasarkan nash. Nash disini mengikat dan berlaku terhadap pelaku dan tempat melakukan perbuatan tersebut.
Imam malik asy-Syafi’i dan imam Ahmad berpendapat bahwa hukum islam dapat diterapkan atas segala kejahatan atau terorisme yang dilakukan di mana saja selama tempat tersebut termasuk daerah dar as-salam baik pelakunya seorang muslim, zimmiy maupun musta’min.
Hukum islam tentang terorisme diperlakukan tegas dan keras terinci dalam keputusan Majelis Hai’ah Kibar Ulama (Lembaga Ulama Besar) N0. 148 tanggal 12/1/1409 H (9/5/1998 M) dengan persetujuan dan tanda tangan anggota majelis.
Hal-hal yang diputuskan oleh majelis, diantaranya sebagai berikut:
1.                  Yang terbukti secara syar’i melukan perbuatan terorisme dan membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan kerusakan dan keamanan, hukumannya adalah dibunuh berdasarkan kandungan yang tertera dalam ayat suci Al-Qur’an.
2.                  Sebelum dibunuh seperti poin yang diatas, pelaku harus menyelesaikan administrasi si pengadilan syari’at, Hai’ah At-Tamyiz dan Mahkamah Agung dalam rangka pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Allah SWT menjaga manusia, agama, badan, jiwa, kehormatan, akal, dan harta bendanya dengan disyari’atkan hudud (hukum-hukum ganjaran) dan uqubah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan yang umum dan khusus.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang besar”. (QS. Al-Mâ`idah : 33).



b.    Solusi terorisme menurut pandangan Islam
Tindakan preventif terhadap penyembuhan aksi terorisme awalnya disikapi dengan menghiasi jiwa kita akan pemikiran islam yang lurus, penguatan aqidah, selalu dalam naungan wahyu illahi dan mau memahami maknanya.
      Adapun solusi terorisme di negeri-negeri kafir, harus di imbangi dengan undang-undang negeri tersebut. Sangat disayangkan dalam mayoritas negeri islam mengikuti jejak negeri-negeri kafir dalam penegakkan  hukum undang-undang dasarnya yaitu dalam menyelesaikan masalah suatu negeri misalnya. Biasanya mereka menyelesaikan dengan undang-undang yang mereka buat sendiri bukan dengan syari’at islam yang maha suci ini.[3]

4.     Hukuman atas tindak pidana hirabah (العقوبة الحربة )
Menurut imam abu hanifah, asy-syafi’i, ahmad bin hambal, dan ulama yang lain, hukuman atas tindak pidana hirabah berbeda-beda, tergantung pada perbuatan yang di lakukan. Sebuah tindakan pidana di anggap hirabah jika tidak keluar dari empat bentuk:
o   Menakut-nakuti orang di jalan tanpa mengambil harta atau membunuh orang
o   Hanya mengambil harta, tidak yang lain
o   Membunuh saja tidak yang lain,
o   Mengambil harta dan membunuh
a.     Hanya menakut-nakuti ( اخافةالسبيل الغير )
Jika muharrib ( perampok/pengganggu keamanan ) hanya menakut-nakuti orang di jalan dan tidak membunuh atau mengambil harta, hukumannya adalah di asingkan. Pendapat imam abu hanifah dan ahmad bin hambal ini di dasarkan atas firman allah swt,
اوينفوامن الارض   
“........atau di asingkan dari tempat kediamannya....” (QS. Al-ma’idah ;33)
 Ta’rif ayat;
Sebagian ulama berpendapat bahwa maksud firman tersebut adalah di hilangkan dari muka bumi dengan di bunuh atau di salib . sebagian mengatakan bahwa mengasingkan adalah mengusir dari negar islam. Me nurut defenisi ini mengasingkan berarti membuang. Di masa sekarang, mengasingkan hampir sama dengan menghilangkan kewarga negaraan walaupun orang yang di buang masih bisa kembali kenegaranya jika ia jelas-jelas bertaubat.

o   Defenisi mengasingkan
            Defenisisi mengasingkan menurut sebagian ulama malikiyah adalah memenjarakan. Sebagian ulama lainnya mengasingkan adalah memenjarakan pelaku di tempat lain yang bukan tempat terjadinya hirabah. Pendapat yang kuat dalam mazhab syafi’i adalah menahan, sedangkan menahan bisa di lakukan di tempat pelaku, tetapi lebih utama di tempat lain. Menurut simam ahmad bin hanbal berpendapat bahwa mengasingkan adalah mengusir muharrib dari kota. Ia tidak di perkenankan kembali kepad daerahnya jika ia jelas-jelas bertaubat.

o   Masa pengasingan
Menurut ulama abu hanifah, asy syafi’i dan malik, lamanya masa pengasingan tidak tertentu. Muharib akan terus di tahan sampai ia terlihat bertaubat dan sikapnya menjadi baik, barulah ia di bebaskan, walupun demikian, sebagian ulama berpendapata bahwa lama masa pengasingan adalah satu tahun, di analogokan dengan hukuman pengsingan atas tindak pidana jina.[4]
b.      Hanya mengambil harta    اخذالما ل لا غير ))
Menurtut imam abu hanifah, asy-syafi’i, ahmad bin hanbal, dan ulama sy’iah zaidilah, jika muharib hanya mengambil harta dann tidak membunuh, maka hukumannya adlah anggota tubuh muharrib harus di potong secara bersilang, yaitu memotong tangan kanan dan kaki kiri.
c.       Hannya membunuh           القتل لا غير  )  )
Menurut imam abu hanifah dan asy-syfi’i, imam ahmad bin hanbal, muharrib yang hanya mebunuh dan tidak mengambil harta, di jatuhi hukuman mati tanfa salib.
d.      Membunuh dan mengambil harta القتل و اخذ المال ))
Jika muharrib membunuh dan mengambil harta, ia di jatuhi hukuman mati dan di salib sekali gus tanfa di sertai hukuman potong organ tubuh.[5]














BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-hirabah mengandung arti pengambilan harta yang di sertai dengan kekerasan dan ancaman yang membuat korban tidak berdaya.
Syarat-syarat hirabah, Suatu kasus dapat di sebut tindak pidana al-hirabah () apabila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
o    Pelaku adalah orang yang di lindungi darahnya.
o    Pergi keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan dan menakut-nakuti orang di jalan.
o    Adanya unsur terang-terangan.
o    Adanya unsur mengangkat senjata
Untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku hirabah terdapat beberapa syarat, yaitu :
o      Pelaku hirabah orang mukallaf
o      Pelaku hirabah membawa senjata
o      Lokasi hirabah jauh dari keramaian
o      Tindakan hirabah secara terang-terangan











Daptar pustaka
شرح فتح القديرج ٤ ص ٢٦٨ 
Al-falfi, syaikh sulaiman ahmad yahya, ringkasan fiqih sunnah sayyid sabiq;penerjemah: tirmidzi,futuhal arifin.dkk,(jakarta:pustaka al-kautsar, 2013)
Disalin dari kitab Al-Ihrab Wa Atsaruhu Alal Afrad Wal Umam, Edisi Indonesia Terorisme Dalam Tinjauan Islam, oleh  Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly, penerjemah Hannan Bahanan, Maktabah Salafy Press.

Al-mudawwanah al-kubra (penerbit sa’dah) cet.1, jld, XVI,
Abdul Qodir Audah ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islami, Juz lI. kutipan buku Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana  Islam halaman


شرح فتح القديرج ٤ ص ٢٦٨  [1]
[2] Al-falfi, syaikh sulaiman ahmad yahya, ringkasan fiqih sunnah sayyid sabiq;penerjemah: tirmidzi,futuhal arifin.dkk,(jakarta:pustaka al-kautsar, 2013). Hlm.594
[3] Disalin dari kitab Al-Ihrab Wa Atsaruhu Alal Afrad Wal Umam, Edisi Indonesia Terorisme Dalam Tinjauan Islam, oleh  Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly, penerjemah Hannan Bahanan, Maktabah Salafy Press.

[4] Al-mudawwanah al-kubra (penerbit sa’dah) cet.1, jld, XVI, hlm 98-99
[5] Abdul Qodir Audah ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islami, Juz lI. kutipan buku Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana  Islam halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar