الحرابة ( terorisme dalam hukum pidana islam)
1. Pengertian Hirabah (الحرابة)
الحرابة : هي الخروج لاخذالمال
على سبيل المغاللبة اوسرقة الكبرى
“hirabah
ialah keluar (rumah) untuk mengambil harta dengan paksa atau
pencurian besar” [1]
A. Al-hirabah (الحرابة ) di sebut
juga Qath’u Ath-Ath-Thariq(قطع اطريق), yaitu penyamun atau
pembegal. Mereka adalah segerombolan orang atau sekelompok bersenjata yang ada
di wilayah negara islam yang bertujuan membuat kekacauan, menumpahkan darah,
mengambil harta, membunuh manusia, menghancurkan anak dan keturunan; dimana
semua itu sangat bertentangan dengan agama, akhlak, aturan, dan
undang-undang.disini tidak dibedakan apakah pelakunya berasal dari kaum muslin,
kafir dzimmi, kafir mu’ahad, maupun kafir harbi.selagi hal itu terjadi
diwilayah islam, dan pelakunya me nghalalkan darah kaum muslim dan kafir dzimmi.[2]
Ayat al
qur an yang menjelaskan tentang hirabah terdapat dalam al maidah ayat 33
“hukuman
bagi orang-orang yang memerangi allah dan rasulnya dan membuat kerusakan di
bumi, hanyalah di bunuh atau di salib, atau di potong tangan dan kaki mereka
secara silang, atau di asingkan dari tempat kediamannya, yang demikian itu
kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar
(QS-AL-maidah:33)
2. Syarat-syarat hirabah ( لسروط الحربة )
a. Suatu kasus dapat di sebut tindak pidana
al-hirabah (الحربة) apabila memenuhi beberapa kriteria
sebagai berikut:
o Pelaku adalah orang yang di lindungi darahnya.
o Pergi keluar untuk mengambil harta dengan cara
kekerasan dan menakut-nakuti orang di jalan.
o Adalah unsur terang-terangan.
o Adanya unsur mengangkat senjata.
Dari ke
empat keriteria tersebut, imam majhab berbeda pendapat tentang alat yang di
pergunakan sebagai senjata. Menurut imam abu hanifah dan imam ahmad, dan
mensyaratkan adanya senjata sebagai alat yang dapat di gunakan untuk membunuh,
seperti tongkat, batu besar atau kayu.
Menurut imam malik dan imam al-syafi’i,
cukup dengan mempergunakan kekuatan atau tenaga dari pelakunya, bahkan imam
malik menganggap bahwa mengambil harta dengan memakai tipuan dalam kondisi
tertentu atau menggunakan anggota badan seperti tinjuan, pukulan atau tamparan,
merupakan al hirabah. Lain halnya dengan dengan golongan syafi’iyah yang
mensyratkan adanya al-syaukah.
b. Untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku hirabah
terdapat beberapa syarat, yaitu :
o Pelaku hirabah orang mukallaf
o Pelaku hirabah membawa senjata
o Lokasi hirabah jauh dari keramaian
o Tindakan hirabah secara terang-terangan
Terhadap
empat syarat di atas, para ulama’ fiqh masih berbeda pendapat.
Oleh kareana itu, bagi keempat syarat di atas
kami jelaskan satu persatu sebagai berikut:
1. Pelaku hirabah orang mukallaf:
Mukallaf
adalah syarata untuk dapat di tegakkan suatu hadd padanya. Kemudian mukaalaf
adalah orang yang berakal dan dewasa, anak kecil dan orang gila tidak bisa di
anggap sebagai pelaku hirabah yang harus di hadd, sungguhpun ia terterlibat dalam sindikat
hirabah. Karena orang kecil dan orang gila tak bisa di bebani atau hukum
menurut syara’.
Mengenai anak kecil dan orang gila yang
terlibat dalam sindikat hirabah ini bagi para ulama’ fiqh tidak ada perbedaan
pendapat. Akan tetapi para ulama’ fiqih berbeda pendapat mengenai sindikat
hirabah, dimana anggota
-anggotanya terdiri dari anak kecil atau orang
gila dan orang-orang dewasa serta berakal. Apakah di samping gugur dari anak
kecil, dab orang gila, hadd juga gugur, dan orang gila, hadd juga gugur bagi
orang-orang dewasa dan berakal.?
Ahnaf mengatakan,
hadd gugur bagi orang-orang dewasa dan berakal tersebut. Bila anak kecil dan
orang gila di bebaskan, maka orang-orang dewasa dan berakal yang menjadi teman
sindikatnya juga di bebaskan dari hadd. Karena mereka, baik anak kecil, dan
orang-orang dewasa serta berakal yang tergabung dalam satu sindikat adalah
sama-sama bertanggung jawab. Dan bila had hirabahnya gugur, maka pekerjaan yang
ia lakukan harus di perhitungkan sebagai mana mestinya yang sesuai dengang
tindak kejahatan yang ia lakukan dalam hirabah itu. Bila tindak kejahatannya
itu pembunuhan, maka urusan ini di serahkan kepada keluarga si terbunuh, apakah
ia memaafkan atau menuntut perkara. Demikian seterusnya dalam tindakan-tindakan
jahat lainnya.
Kesimpulan
pendapat majhab maliki dan dzahiri adalah bahwa hadd hirabah gugur bagi anak
kecil dan orang gila, tetapi tidak gugr bagi orang dewasa dan berakal yang
menjadi temanan sindikatnya. Karena had hirabah adalah hak allah. Sedangkan
dalam melaksanakan hak allah itu anak kecil dan orang gila tidak boleh di
samakan dengan orang dewasa serta berakal.
Selanjutnya
dalam masalah hirabah, “lelaki” dan “merdeka” bukanlah merupakan syarat untuk
menjatuhkan hadd. Orang perempuan dan budak kadang-kadang juga ada yang kuat
seperti kaum laki-laki dalam mengatur siyasat kejahatan, mempergunakan senjata,
dan melancarkan tindkan-tindakan jahat. Karena itu, hukum hirabah juga berlaku
kepada orang perempuan dan budak.
2. Pelaku hirabah membawa senjata:
Untuk dapat menjatuhkan hadd hirabah di
syaratkan pula bahwa dalam melancarkan hirabah pelakunya terbukti membawa
senjata. Karena senjata itulah yang merupakan kekuatan yang di andalkan olehnya
dalam melancarkan hirabah. Bila ia tidak membawa senjata, maka tindakannya tak
bisa di katakan hirabah.
Sekarang
bagaimana bila ia bersenjatakan batu dan tongkat saja ? apakah tindakannya itu
di hukumi hirabah ? para ulam
berpendapat.
Imam syafi’i, malik, pengikut hambalali, abu
yusuf, abu tsaur, dan ibnu hazn mengatakan bahwa tindakannya di hukumi hirabah,
meskipun hanya bersenjatakan batu dan tongkat. Karena dalam tindkan
hirabahtidak ada ketentuan mengenai jenis senjata. Yang di anggap sebagai
hirabah adalah motif tindak kejahatannya itu, dan bukan jenis senjatanya. Abu
hanifah mengatakan bahwa tindakan yang hanya bersenjatakan baut dan tongkat
tersebut tidak di hukumi sebagai tindakan hirabah.
3. Lokasi hirabah jauh dari keramaian :
Sebagian
ulama’ menjelaskan bahwa untuk dapat menjatuhkan hadd hirabah di syaratkan pula
lokasi hirabah yang di lancarkan pelakunya ada di tempat padang yang jauh dari
keramaian.
Jadi
hirabah sama dengan tindakan samun. Dengan demikian, bila tindakan kejahatan
itu dilakukan keramaian, maka itu bukanlah tindakan hirabah atau samun. Karena
yang dinamakan tindakan hirabah atau samun adalah di tempat padang yang jauh
dari keramaia. Selain itu, bila terjadi tindakan kejahatan di keramaian, maka
korban bisa minta pertolongan sehingga kekuatan pelaku kejahatan dapat di
patahkan. Demikian menurut pendapat abu hanifah, tsauri, ishak, dan manyoritas
ulama’ fiqih dari golongan syi’ah. sekelompok ulama’ lain mengatakan bahawa
tindak kejahatan di tempat padang dan di tempat keramaian sama saja bernama
hirabah. Karena ayat mengenai hirabah secara umum menyabgkut segala hirabah,
baik di tempat padang atau keramaian.
4. Tindakan hirabah secara terang-terangan
Termasuk syarat hirabah yang harus di hadd,
adalah tindakan tersebut dilakukan secara terang-terangan. Bila ia melakukan
hirabah terhadap harta secara sembunyi-sembunyi, maka ia pencuri namanya. Bila
ia merebut harta kemudian lari, maka ia penjamret atau perampas namanya.
3. antara pencurian ( sariqah) dengan perampokan /
gangguan keamanan (hirabah) مقارنة
بين اسرقة والحربة
Walaupun
tindak pidana hirabah dinamakan pencurian besar (sariqah qubra) ia tidak
benar-benar mirip dengan pencurian. Pencurian adalah pengambilan harta secara
sembunyi-sembunyi, sedangkan hirabah adalah keluar( rumah) untuk mengambil
harta dengan cara paksa. Unsur pencurian yang paling dasar adalah mengambil
harta saja, sedangkan unsur hirabah adalah keluar untuk mengabil harta, baik
pelaku mengambil harta atau maupun tidak. Seorang dikatakan pencuri jika ia
mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan dikatakan muharrib (
perampok/pengganggu keamanan ) jika ia berada dalam beberapa kondisi.
·
Jika ia
keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu menakut-nakuti orang
yang berjalan, tetapi ia tidak mengambil harta dan membunuh orang.
·
Jika ia
kelua untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta, tetapi
tidak membunuh.
·
Jika ia
keluar untuk mengabil harta dengan cara kekerasan lalu membunuh, tetapi tidak
mengambil harta.
·
Jika ia
keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta dan
membunuh.
a.
Terorisme dalam pandangan islam
Persoalan utama dalam aksi terorisme dalam pandangan
islam adalah pemaknaan kata jihad. Para aktifis muslim dituding sebagai
penyebar ajaran teror memahami jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap para
penolak islam. Mereka memahami jihad sebagai balas dendam karena kafir telah
memerangi islam secara tidak terbatas, maka wajib pula muslim memerangi kafir
secara tidak terbatas.
Dalam memahami konsep jihad dalam hukum islam dibagi
menjadi empat tahapan. Pertama, kaum muslimin diperintahkan menahan diri untuk
bersabar dan tidak melakukan pembalasan terhadap penindasan, kekejaman dan
celaan kafir Quraisy. Kedua, tahapan sebatas diizinkan berperang tetapi belum
diperintahkan berperang, sehingga belum ada kewajiban berperang. Ketiga,
tahapan diwajibkan memerangi kaum kafir secara terbatas, hanya kaum kafir yang
memerangi kaum muslimin sedangkan kaum kafir yang tidak memerangi kaum muslimin
tetap tidak diperangi. Keempat, tahapan yang mewajibkan kaum muslimin untuk
memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik.
Larangan melakukan tindakan kekerasan atas nama agama
(jihad) atau terorisme telah diputuskan oleh majelis ulama indonesia (MUI) 2003
dengan mengeluarkan fatwa yang mengharamkan atas tindakan tersebut. Ketua dewan
fatwa MUI, Kiai Ma’ruf Amin menyampaikan fatwa tersebut karena Indonesia bukan
wilayah perang dan terorisme adalah perbuatan haram.
Dalam hukum pidana islam, terorisme dimasukkan kedalam
golongan jarimah hirabah. Golongan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan
oleh orang yaitu pengambilan hak orang secara terang-terangan disertai tindak
kekerasan.
Dalam kaidah hukum islam disebutkan bahwa hukum islam
dapat diberlakukan kepada siapa saja dalam dar as-salam. Dalam kaidah lain
disebutkan bahwa suatu perbuatan tidak akan dikenai hukuman kecuali berdasarkan
nash. Nash disini mengikat dan berlaku terhadap pelaku dan tempat melakukan
perbuatan tersebut.
Imam malik asy-Syafi’i dan imam Ahmad berpendapat
bahwa hukum islam dapat diterapkan atas segala kejahatan atau terorisme yang
dilakukan di mana saja selama tempat tersebut termasuk daerah dar as-salam baik
pelakunya seorang muslim, zimmiy maupun musta’min.
Hukum islam tentang terorisme diperlakukan tegas dan
keras terinci dalam keputusan Majelis Hai’ah Kibar Ulama (Lembaga Ulama Besar)
N0. 148 tanggal 12/1/1409 H (9/5/1998 M) dengan persetujuan dan tanda tangan
anggota majelis.
Hal-hal yang diputuskan oleh majelis, diantaranya
sebagai berikut:
1.
Yang terbukti secara syar’i melukan perbuatan terorisme dan
membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan kerusakan dan keamanan,
hukumannya adalah dibunuh berdasarkan kandungan yang tertera dalam ayat suci
Al-Qur’an.
2.
Sebelum dibunuh seperti poin yang diatas, pelaku harus
menyelesaikan administrasi si pengadilan syari’at, Hai’ah At-Tamyiz dan
Mahkamah Agung dalam rangka pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Allah SWT menjaga manusia, agama, badan, jiwa,
kehormatan, akal, dan harta bendanya dengan disyari’atkan hudud (hukum-hukum
ganjaran) dan uqubah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan yang umum
dan khusus.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang besar”. (QS.
Al-Mâ`idah : 33).
b.
Solusi terorisme menurut
pandangan Islam
Tindakan preventif terhadap penyembuhan aksi terorisme awalnya disikapi
dengan menghiasi jiwa kita akan pemikiran islam yang lurus, penguatan aqidah,
selalu dalam naungan wahyu illahi dan mau memahami maknanya.
Adapun solusi terorisme di negeri-negeri
kafir, harus di imbangi dengan undang-undang negeri tersebut. Sangat
disayangkan dalam mayoritas negeri islam mengikuti jejak negeri-negeri kafir
dalam penegakkan hukum undang-undang
dasarnya yaitu dalam menyelesaikan masalah suatu negeri misalnya. Biasanya
mereka menyelesaikan dengan undang-undang yang mereka buat sendiri bukan dengan
syari’at islam yang maha suci ini.[3]
4. Hukuman atas tindak pidana hirabah (العقوبة الحربة )
Menurut imam
abu hanifah, asy-syafi’i, ahmad bin hambal, dan ulama yang lain, hukuman atas
tindak pidana hirabah berbeda-beda, tergantung pada perbuatan yang di lakukan.
Sebuah tindakan pidana di anggap hirabah jika tidak keluar dari empat bentuk:
o Menakut-nakuti orang di jalan tanpa mengambil
harta atau membunuh orang
o Hanya mengambil harta, tidak yang lain
o Membunuh saja tidak yang lain,
o Mengambil harta dan membunuh
a. Hanya menakut-nakuti ( اخافةالسبيل الغير )
Jika muharrib ( perampok/pengganggu keamanan )
hanya menakut-nakuti orang di jalan dan tidak membunuh atau mengambil harta,
hukumannya adalah di asingkan. Pendapat imam abu hanifah dan ahmad bin hambal
ini di dasarkan atas firman allah swt,
اوينفوامن الارض
“........atau di asingkan dari tempat kediamannya....”
(QS. Al-ma’idah ;33)
Ta’rif
ayat;
Sebagian
ulama berpendapat bahwa maksud firman tersebut adalah di hilangkan dari muka
bumi dengan di bunuh atau di salib . sebagian mengatakan bahwa mengasingkan
adalah mengusir dari negar islam. Me nurut defenisi ini mengasingkan berarti
membuang. Di masa sekarang, mengasingkan hampir sama dengan menghilangkan
kewarga negaraan walaupun orang yang di buang masih bisa kembali kenegaranya
jika ia jelas-jelas bertaubat.
o Defenisi mengasingkan
Defenisisi
mengasingkan menurut sebagian ulama malikiyah adalah memenjarakan. Sebagian
ulama lainnya mengasingkan adalah memenjarakan pelaku di tempat lain yang bukan
tempat terjadinya hirabah. Pendapat yang kuat dalam mazhab syafi’i adalah
menahan, sedangkan menahan bisa di lakukan di tempat pelaku, tetapi lebih utama
di tempat lain. Menurut simam ahmad bin hanbal berpendapat bahwa mengasingkan
adalah mengusir muharrib dari kota. Ia tidak di perkenankan kembali kepad
daerahnya jika ia jelas-jelas bertaubat.
o Masa pengasingan
Menurut
ulama abu hanifah, asy syafi’i dan malik, lamanya masa pengasingan tidak
tertentu. Muharib akan terus di tahan sampai ia terlihat bertaubat dan sikapnya
menjadi baik, barulah ia di bebaskan, walupun demikian, sebagian ulama berpendapata
bahwa lama masa pengasingan adalah satu tahun, di analogokan dengan hukuman
pengsingan atas tindak pidana jina.[4]
b. Hanya mengambil harta اخذالما ل لا غير ))
Menurtut
imam abu hanifah, asy-syafi’i, ahmad bin hanbal, dan ulama sy’iah zaidilah,
jika muharib hanya mengambil harta dann tidak membunuh, maka hukumannya adlah
anggota tubuh muharrib harus di potong secara bersilang, yaitu memotong tangan
kanan dan kaki kiri.
c. Hannya membunuh القتل لا غير ) )
Menurut
imam abu hanifah dan asy-syfi’i, imam ahmad bin hanbal, muharrib yang hanya
mebunuh dan tidak mengambil harta, di jatuhi hukuman mati tanfa salib.
d. Membunuh dan mengambil harta القتل و اخذ المال ))
Jika
muharrib membunuh dan mengambil harta, ia di jatuhi hukuman mati dan di salib
sekali gus tanfa di sertai hukuman potong organ tubuh.[5]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-hirabah
mengandung arti pengambilan harta yang di sertai dengan kekerasan dan ancaman
yang membuat korban tidak berdaya.
Syarat-syarat
hirabah, Suatu kasus dapat di sebut tindak pidana al-hirabah () apabila
memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
o Pelaku adalah orang yang di lindungi darahnya.
o Pergi keluar untuk mengambil harta dengan cara
kekerasan dan menakut-nakuti orang di jalan.
o Adanya unsur terang-terangan.
o Adanya unsur mengangkat senjata
Untuk
menjatuhkan hukuman kepada pelaku hirabah terdapat beberapa syarat, yaitu :
o Pelaku hirabah orang mukallaf
o Pelaku hirabah membawa senjata
o Lokasi hirabah jauh dari keramaian
o Tindakan hirabah secara terang-terangan
Daptar pustaka
شرح فتح القديرج ٤ ص
٢٦٨
Al-falfi,
syaikh sulaiman ahmad yahya, ringkasan fiqih sunnah sayyid sabiq;penerjemah:
tirmidzi,futuhal arifin.dkk,(jakarta:pustaka al-kautsar, 2013)
Disalin
dari kitab Al-Ihrab Wa Atsaruhu Alal Afrad Wal Umam, Edisi Indonesia Terorisme Dalam Tinjauan Islam,
oleh Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi
Al-Madkhaly, penerjemah Hannan Bahanan, Maktabah Salafy Press.
Al-mudawwanah
al-kubra (penerbit sa’dah) cet.1, jld, XVI,
Abdul
Qodir Audah ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islami, Juz lI. kutipan buku Ahmad
Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam
halaman
[2]
Al-falfi, syaikh sulaiman ahmad yahya, ringkasan fiqih sunnah sayyid
sabiq;penerjemah: tirmidzi,futuhal arifin.dkk,(jakarta:pustaka al-kautsar,
2013). Hlm.594
[3]
Disalin dari kitab Al-Ihrab Wa Atsaruhu Alal Afrad Wal Umam, Edisi Indonesia Terorisme Dalam Tinjauan Islam,
oleh Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi
Al-Madkhaly, penerjemah Hannan Bahanan, Maktabah Salafy Press.
[4]
Al-mudawwanah al-kubra (penerbit sa’dah) cet.1, jld, XVI, hlm 98-99
[5] Abdul Qodir Audah ‘At
Tasyri’ Al Jina’iy Al Islami, Juz lI. kutipan buku Ahmad Wardi Muslich,
Hukum Pidana Islam halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar