Sabtu, 27 April 2019

LANDASAN AGAMA DALAM ETIKA


PEMBAHASAN

A.    Landasan Agama Dalam Etika

1.   Sumber Agama Dalam Etika (Akhlak)
a. Sumber Akhlak
Dalam Islam, Al Qur an dan As-Sunnah selain dijadikan sebagai pegangan hidup juga dijadikan sebagai dasar atau alat pengukur baik buruknya sifat seseorang. Apa yang baik menurut Al Qur n dan As-Sunnah itu berarti baik dan harus dijalankan, sedangkan apa yang buruk menurut Al Qur n dan Sunnah berarti tidak baik dan harus dijauhi.[1]
Sebagai dasar umum dari pendidikan akhlak adalah QS. At-Tahrim ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S. At-
Tahrim/66 : 6). [2]
Sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlak adalah al-Qur’an dan sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral.
b. Materi Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak bernuansa moralitas diasaskan pada petunjuk nabi SAW. yaitu pengejawantahan setiap konsep pendidikannya berdasarkan akhlakul karimah.
Yanuhar Ilyas menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial,
makhluk penghuni dan yang memperoleh bahan dari
kehidupan dari alam serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Adapun ruang lingkup akhlak adalah sebagai berikut:
1) Akhlak Terhadap Allah SWT
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji.
Akhlak seorang hamba dengan sang pencipta. Manusia sebagai makhluk dan Allah SWT sebagai pencipta alam. Akhlak terhadap Allah yang dimaksudkan yaitu dengan menjalankan apa yang menjadi perintah dan menjauhi apa yang menjadi larangan.
Cinta dan ridho terhadap ketetapan Allah SWT. Hal tersebut merupakan wujud akhlak manusia kepada sang pencipta. Dengan mencintai sesama makhluk Allah SWT. dan ridho terhadap takdir  Allah SWT.
Bersyukur kepada Allah SWT. merupakan wujud dari perilaku yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Bersyukur terhadap nikmat dan rahmat yang telah Allah limpahkan.
2) Akhlak Terhadap Rasulullah SAW
Mengikuti Rasulullah SAW. adalah salah satu bukti kecintaan seorang hamba terhadap Allah SWT. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
 Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ 4:64).[3]

3) Akhlak Pribadi
Islam mengajarkan seorang muslim selalu berbuat baik. Kebaikan berasal dari diri muslim itu sendiri. Satu kebaikan akan mengundang kebaikan-kebaikan yang lainnya. Sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas merupakan akhlak mulia. Dan akan mendatangkan kemuliaan-kemuliaan yang lebih banyak lagi.
Akhlak terbagi menjadi dua macam yaitu: 
a) Akhlak yang baik (akhlak al-karimah)
b) Akhlak yang buruk (akhlak al-mazmumah)
Akhlak mahmudah terdiri dari: semua perbuatan yang mengandung nilai positif, membuat hati menjadi tenang, memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. 
Sedangkan akhlak mazmumah terdiri dari semua perbuatan yang mengandung nilai negatif, membuat kekacauan diri sendiri maupun lingkungan sekitar dan memberi kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain.
Akhlak al-karimah adalah menuju dan menghampiri diri seseorang dan umat kepada Allah Yang Maha karim. Atau istilah akhlak menuju pribadi taqwa. Atau bisa diartikan bahwa menuju akhlak al-karimah yaitu dengan jalan ketaqwaan. Akhlak jika ditinjau dari satu sisi memiliki hubungan erat dengan agama yaitu terciptanya sikap hilm. Taat melaksanakan ibadah secara terus menerus.
Atau dengan definisi taqwa secara sederhana yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya. Atau lebih ringkas lagi “mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan proses ketaqwaan tersebut akan merubah prilaku seorang muslim menjadi perilaku yang mencerminkan sebuah ketaqwaan dengan sendirinya.

2.        Pengertian Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos ( kata tunggal) yang berarti : tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta, etha, yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama pengertianya dengan moral. Moral berasal dari kata latin: Mos (bentuk tunggal), atau mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak, cara hidup.[4]
Menurut Bertens ada dua pengertian etika: sebagai praktis dan sebagai refleksi. Sebagai praktis, etika berarti nilai- nilai dan norma norma moral yang baik yang dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai praktis sama artinya dengan moral atau moralitas yaitu apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebgainya. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral.[5]
            Adapun menurut Burhanuddin Salam, istilah etika berasal dari kata latin,yakni “ethic, sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu a body of moral principle or value Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan, habit. Jadi,
dalam pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (pada saat itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Perkembangan pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Istilah lain dari etika, yaitu moral, asusila, budi pekerti, akhlak. Etika merupakan ilmu bukan sebuah ajaran. Etika dalam bahasa arab disebut akhlak, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab, dan agama.[6] Istilah etika diartikan sebagai suatu perbuatan standar (standard of conduct)  yang memimpin individu, etika adalah suatu studi mengenai perbuatan yang sah dan benar dan moral yan dilakukan seseorang[7]
Menurut Webster Dictionary, secara etimologis, etika adalah suatu disiplin ilmu yang menjelaskan sesuatu yang baik dan yang buruk, mana tugas atau kewajiban moral, tau bisa juga mengenai kumpulan prinsip atau nilai moral.
Etika adalah cabang filosofi yang berkaitan dengan pemikiran dengan pemikiran tentang benar dan salah. Simorangkir menilai etika adalah hasil usaha yang sistematik yang menggunakan rasio untuk menafsirkan pengalaman moral individu dan untuk menetapkan aturan dalam mengendalikan perilaku manusia serta nilai-nilai yang berbobot untuk bisa dijadikan pedoman hidup. Satyanugraha mendefenisikan etika sebagai nilai-nilai dan norma moral dalam suatu masyarakat.Sebagai ilmu, etika juga bisa diartikan pemikiran moral yang mempelajari tentang apa yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan.
3.        Urgensi Agama Bagi Manusia
Defenisi agama dapat diajukan pada makna ad-dien (arab) atau religion (inggris). Dalam bahasa sansekerta, agama berasal dari dua kata, yaitu “a” berarti “ tidak” dan “gam” berarti “pergi”. Jadi agama mengandung arti “tidak pergi”, tetap di tempat diwarisi turun temurun. Argumentasi pendapat ini didasarakan pada kenyataan bahwa agama dalam kehidupannya bahwa ternyata memang mempunyai sifat turun temurun atau anak-anak akan belajar dan memungut agama sesuai dengan agama orangtuanya.
Pendapat lain tentang agama adalah agama berarti teks atau kitab suci, karena kata “gam” dalam kata a-gam-a, berarti tuntunan.jadi agama bisa dikatakan yang mempunyai tuntunan, yaitu kitab suci. St.Sunardi menjelaskan yang dimaksud dengan agama, berarti regilion, religio, religie, godsdient, dan ad-dien. Dia berpendapat bahwa dalam sejarah barat, penggunaan kata religio dalam arti konkretnya lebih menunjuk segi religiusitas seseorang daripada suatu konsep teknis dan abstrak atau iman konkret daripada lembaga. Hans Kung menambahkan bahwa pada abad ke 16 kata religio baru tergenalisasi dalam konsep yang dianggap sebagai konsep yang ambigu. Artinya, konsep religio mencakup segi-segi yang sama sekaligus tidak sama, segi-segi subjek sekaligus objektif sehingga menerangkan kata religio serumit menerangkan kata seperti Allah dan Waktu.
Secara terminologi agama merupakan suatu sistem kepercayaan kepada tuhan yang di anut oleh sekelompok manusia dengan cara selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang di bahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungan anatara manusia dengan Tuhan, sedangkan paham yang tidak mengakui agama bisa di sebut “Ateisme”.
Pengertian Ateisme sangat bermacam-macam dalam konteks indonesia, ateisme sering dikaitkan dengan komunisme, walaupun sesungguhnya penganut ateisme,atau lebih tepatnya mereka yang mengaku sebagai ateis tidak terbatas hanaya dengan komunis. Komunisme menjadi amat penting sebagai gerakan ateis karena sistem doktrinnya yang lengkap dan rapi, serta gerakannya yang mendunia. Dasar ateis adalah paham yang mengingkari adanya tuhan sebagai wujud yang mutlak, mahatinggi, dan transendental. Bagi kaum ateis, yang ada bukan tuhan tetapi alam kebendaan dan kehidupan pun terbatas hanya di dunia.
Dalam sejarah barat, ateisme sangat banyak. Ada yang tidak beraliran seperti Frederich Nietzche yang mengaku telah membunuh tuhan, ada juga yang terbagi pada Ateis-Antropologi dipelopori oleh Fenerbech yang mengatakan bahwa agama adalah proyeksi manusia yang sama sekali tidak bersifat jasmani. Ateis-Sosio-Politis digawangi oleh Karl Marx yang berpendapat bahwa agama adalah candu. Ateis psikonalitis digawangi oleh Sigmund Freud yang mengatakan adalah ilmu sebagai yang tidak sehat dan bayangan dari rasa takut atau gagasan yang khayali.
Islam tidak toleransi terhadap ateisme. Setiap manusia harus beriman kepada Allah SWT, dan bagi yang tidak beriman disebut musyrik, yahudi,nasrani, atau kafir. Menurut Hassan Hanafi, jika didasarkan pada perkembangan transformasi kehidupan beragama, erma religion dalam konteks islam harus diartikan secara luas, tidak hanya keperluan dan ideologi yang diterjemahkan dalam ritual dan puji-pujian. Terma agama harus pula mengejawantahkan nilai-nilai ethis. Defenisi Hasan Hanafi semakin memperjelas bahwa terdapat hubungan kuat agama dalam pengembangan ilmu dan etika apalagi Al-Quran, sebagaimana yang ditulis Dr.A.MuktiAli merupakan kitab suci yang berpengaruh dalam perkembangan ilmu-ilmu dalam beragam disiplin, sedangkn nilai-nilai dalam etika merupakan pengendali dari sikap dan perilaku manusia dalam memperlementasikan ajaran agama dan kekuatan ilmu dalam kehidupan nyata  (empiris).
4.        Kesatuan Antara Etika Dan Agama
Etika tidak dapat menggantikan agama . agama merupakan hak yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Menurut Donald M.Broom, ada tiga argument utam berkaitan dengna moralitas agama. Pertama, kode moral adalah komponen inti agama, kedua, beberapa bentuk agama adalah konsekuensi yng tak terelakan dan perlu adanya tindakan moral dan ketiga, agama sangat berharga untuk semua aspek yang normative dalam agama. Oleh sebab itu, penting untuk meembedakan antara dasar-dasar agama dan struktur ritual yang banyak membantu individu dalam memahami, mematuhi, dan memperaktikan agama. Gagasan tentang kebaikan bersama dan semangat bertuhan yang lebih mengutamakan kepentingan umum di banding kepentingan individu, membantu system moral untuk tetap berfungsi[8]
Kode moral yang begitu rumit merupakan dinamika dari dampak positif maupun negative bagi individu yang memiliki efektivitas dan universalitas yang lebih besar jika mereka di jabarkan. Moral dan set kepercayaan lain yang relevan dengan perilaku manusia mungkin tidak dapat di sebut agama, tetapi akan muncul sebagai struktur system moral yang mendorong peningkatan kerja sama. Argumentsi bahwa agama memiliki dasar biologis menganggap bahwa pada dasarnya manusia sebagai makhluk beragama setuju bahwa agama adalah pemahaman progresif rohani.
Hal itu mengacu pada landasan biologis untuk menajlankan agama dan isenya mengenai roh kudus dan tuhan sebagai semua melihat, tetapi murah hati dalam kaitannya dengan isu moral. Banyak filsuf mengacu pada kode moral atau keagamaan “bergantung pada intuisi atau kepercayaan di anggap “ dengna ide dasar bahwa ini berasal dari fungsi individu . pandangan bahwa kecenderungan untuk keyakinan agama adalah yang paling kompleks dan kekuatan dalam pikiran manusia serta dalam kemungkinan yang dihilangkan bagian dari sifat manusia .[9]
5.  Kebebasan Dan Kepatuhan Akan Ajaran Agama
Peerilaku moral rasional ini di tandai dengan adanya pengakuan in individu pda dogma-dogma normatif yang bersumber dari susyriat bahkan dapat di katakana bahawa bukti nyata seseorang itu bebas adalah menjadikan agama sebagai  nilai moral yang kokoh dalam kehidupannya. Dalam bahsa yang lebih ekstreem, dapat di katakana bahwa semakin bebas seseorang , semakin pulatu pula ia memegang dan menjunjung tinggi agama. Manusia adalah makhluk yang secara bebas adapat menentukan perilaku moralnya , tetapi bukan berarti bahwa kehadiran syariat menjadi sesuatu yang dapat menggangggu dan atau mengurangi eksistensi kebebasan manusia . yang jelas, selalu di tandai dengan keseriusan dan ketekunannyamenjalankan berbagai syariat agama sehingga termanifestasi dalam kehidupan kesehariannya, baik dalam kaitannya dengan sesame manusia.
Moralitas sebagai hasisl upaya rasional manusia dalam menentukan sesuatu , semestinya sejalan dengan apa yang di tenttukan oleh noramtifitas agama sehngga moralitas senantiasa di tandai dengan upaya manusia menjalaankan syariat agama yang telah di tenttukn, hal ini mengingat rasionalitas dan nalar fitri manusia selalu menginginkan yang baik  dan bajik, sedangkan norma agama berisi nilai-nilai kebaikan dan kebajikan yang di butuhkan . segala sesuatu yang tertuang di dalam norma-norma agama akan sesalu dapat di terima oleh akal fitri manusia yang memangn menginginkannya.
Jadi, ada hubungan signifikan antara kebebasan manusia dalam memilih nilai-nilai moral dan mematuhi ajaran dan normativitas agama. Dengan demikian, kebebasan manusia berimflikasi pada ketundukan dan kepatuhannya kepada nilai-nilai normativitas agama. Ketika manusia telah menerima nilai nilai agama sebagai sebuah kebenaran dan ia telah menyakini bahawa nilai tersebut adalah benar, iapun mesti berpegang teguh dengannya sebagai bukti bahwa ia bertnggung jawab atas pilihannya. Bukannkah manusia baru dapat melakukan pemilihan dan penerimaan apabila ia di beri kebebasan ? karena ia bebeas meniscayakan dirinya bertanggung jawab atas apapun yang telah ia pilih.[10]
Dalam makna lain, ketika seseorang berdasarkan pencariannya yang sejati telah menemukan sesuatu kebenaran nilai moral, ia pun harus terikat dengan apa yang telah ia yakini sebagai sebuah kebenaran. Jadi, kepatuhan terhadap nilai-nilai moral dalam hal hal ini merupakan lambang atau bukti nyata bahwa seseorang itu bertanggung jawab atas hasil  pilihannya. Lebih tegas lagi, dapat dikatakan bahwa semakin patuh seseorang pada nilai-nilai moral yang telah yakini benar, semakin mampu ia membuktikan bahwa nilai-nilai moralnya didasarkan pada pertimbangan bebasnya. Tidak ada unsur-unsur kepentingan lain yang telah memaksanya untuk mengambil keputusan moral untuk dirinya.
Sikap ini menuntut adanya upaya maksimal seseorang untuk meningkatkan dirinya setinggi mungkin demi kebahagiaan dirinya yang memberikan konsekuensi kemajuan bagi umat manusia. Secara psikologis, manusia tidak dapat melepaskan diri dari keinginan-keinginannya untuk mengutamakan kepentingan pribadinya sendiri daripada kepentingan orang lain, tetapi tidak pula dapat dipungkiri bahwa manusia juga tidak dapat hidup sendiriran. Eksistentensi orang lain juga merupakan penopang bagi eksistensinya. Selalu terjadi proses interdependensi antara individu yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, kedua fungsi psikologis ini harus mendapatkan porsi yang sama dalam pengembangan kemanusiaan seseorang.
Eksistensi agama dalam kehidupan manusia memang diperlukan terutama dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan itu sendiri. Aspek agama tidak dapat diabaikan begitu saja. Agama diperlukan sebagai sumber otonom penting dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena didalam  agama tertuang berbagai aspek yang mendukung perjuangan kemanusian, manusia yang bernaung didalamnya, harus memandang agama dalam konteks normatif-historis sebagai suatu yang dapat dipandang layak. Hanya, konstruksi pemikiran yang bagaimana yang dapat dipahami seperti demikian? Sebab, ada aspek-aspek penting didalamnya yang tidak dapt diubah sama sekali, terutama apabila hal itu menyangkut persoalan keimanan dan hukum-hukum tertentu.
Pada titik ini pula, teologi islam dipijakkan, yaitu suatu pemikiran yang hendak menguraikan salah satu tugas kekhalifahan manusia yang berdasarkan pada kebebasan adalah pengendalian hawa nafsu untuk mendapatkan pengetahuan spiritual safety net dan perolehan kembali kebahagiaan yang pernah terlepas.
Konsep kekhalifahan manusia ini, menurut Nurcholish, berdasarkan tafsir atas drama kosmis, juga terkait dengan konsep tauhid, disamping, juga terkait dengan taskhir dan taslim.[11] Taskhir berarti penundukan alam untuk umat manusia merupakan konsekuensi dari tugas kekhalifahan. Karena manusia memiliki tugas sebagai wakil Tuhan di muka bumi, Allah SWT. Menciptakan segala sesuatu di bumi ini untuk manusia.[12] Allah SWT. Menundukan atau membuat segala sesuatu lebih rendah (sakhara) dan segala sesuatu yang ada dijagat raya beserta segenap benda dan gejala alam (matahari dan bulan, siang dan malam, lautan, angin, kapal yang belayar dilautan, sungai-sungai dan hewan ternak) untuk manusia.[13] Taskhir merupakan  konsep yang menegaskan bahwa manusia adalah puncak ciptaan Tuhan. Sebagai makhluk tertinggi, manusia harus melihat ke atas hanya kepda Tuhan, terhadap sesamanya harus melihat dalam garis mendatar yang rata, dan kepada alam, ia harus melihat kebawah, dalam arti alam berada dalam hirarki yang lebih rendah. Konsep taskhir ini menjadi dasar dari pokok tauhid, yaitu hanya menyerah pasrah kepada Allah SWT. Dan tidak mempersekutukan Allah SWT dengan memuja alam atau memandang alam atau manusia lain lebih tinggi dari diri. Kemusyrikan dalam kerangka taskhir adalah pengingkaran kenyataan bahwa alam sudah disediakan untuk diatur oleh manusia. Dengan demikian, konsep taskhir berkolerasi sangat kuat dengan konsep tauhid, atau sebaliknya tauhid melibatkan pandangan taskhir.[14]






Penutup
kesimpulan
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos ( kata tunggal) yang berarti : tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta, etha, yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama pengertianya dengan moral. Moral berasal dari kata latin: Mos (bentuk tunggal), atau mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak, cara hidup.
Adapun menurut Burhanuddin Salam, istilah etika berasal dari kata latin,yakni “ethic, sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu a body of moral principle or value Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan, habit. Jadi,
dalam pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (pada saat itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Perkembangan pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Istilah lain dari etika, yaitu moral, asusila, budi pekerti, akhlak.
agama berarti teks atau kitab suci, karena kata “gam” dalam kata a-gam-a, berarti tuntunan.jadi agama bisa dikatakan yang mempunyai tuntunan, yaitu kitab suci. St.Sunardi menjelaskan yang dimaksud dengan agama, berarti regilion, religio, religie, godsdient, dan ad-dien. Dia berpendapat bahwa dalam sejarah barat, penggunaan kata religio dalam arti konkretnya lebih menunjuk segi religiusitas seseorang daripada suatu konsep teknis dan abstrak atau iman konkret daripada lembaga. Hans Kung menambahkan bahwa pada abad ke 16 kata religio baru tergenalisasi dalam konsep yang dianggap sebagai konsep yang ambigu. Artinya, konsep religio mencakup segi-segi yang sama sekaligus tidak sama, segi-segi subjek sekaligus objektif sehingga menerangkan kata religio serumit menerangkan kata seperti Allah dan Waktu.
Etika tidak dapat menggantikan agama . agama merupakan hak yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Menurut Donald M.Broom, ada tiga argument utam berkaitan dengna moralitas agama. Pertama, kode moral adalah komponen inti agama, kedua, beberapa bentuk agama adalah konsekuensi yng tak terelakan dan perlu adanya tindakan moral dan ketiga, agama sangat berharga untuk semua aspek yang normative dalam agama. Oleh sebab itu, penting untuk meembedakan antara dasar-dasar agama dan struktur ritual yang banyak membantu individu dalam memahami, mematuhi, dan memperaktikan agama. Gagasan tentang kebaikan bersama dan semangat bertuhan yang lebih mengutamakan kepentingan umum di banding kepentingan individu, membantu system moral untuk tetap berfungsi
Peerilaku moral rasional ini di tandai dengan adanya pengakuan in individu pada dogma-dogma normatif yang bersumber dari susyriat bahkan dapat di katakana bahawa bukti nyata seseorang itu bebas adalah menjadikan agama sebagai  nilai moral yang kokoh dalam kehidupannya. Dalam bahsa yang lebih ekstreem, dapat di katakana bahwa semakin bebas seseorang , semakin pulatu pula ia memegang dan menjunjung tinggi agama. Manusia adalah makhluk yang secara bebas adapat menentukan perilaku moralnya , tetapi bukan berarti bahwa kehadiran syariat menjadi sesuatu yang dapat menggangggu dan atau mengurangi eksistensi kebebasan manusia . yang jelas, selalu di tandai dengan keseriusan dan ketekunannyamenjalankan berbagai syariat agama sehingga termanifestasi dalam kehidupan kesehariannya, baik dalam kaitannya dengan sesame manusia.



DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,(  Jakarta: Raja Grafindo,
2012)
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo,2002), cet. ke-3
Donald M. Broom, the evolution of morality and religion, (canbrige : university
            press, 2003)
K. Bertenz, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007),
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2011),
Hamzah Ya’kub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah, Suatu Pengantar, (
Bandung: CV, Diponegoro, 2000),
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, cet-2 (Jakarta: Paramadina,
            2000),
Depag, Al- Quran T ajwid dan Terjemahnya (Q.S Al-Baqarah (2): 29)
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum,(Bandung: Pustaka Setia, 2011)
M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang, 2001),


[1] M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang, 2001), hlm. 11
[2] Depag, Al- Quran T ajwid dan Terjemahnya.. (Q.S. At-Thahrim/ 66 : 6 )
[3] Depag, Al- Quran T ajwid dan Terjemahnya . (An-Nisa’ :4:64)
[4] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,(  Jakarta: Raja Grafindo, 2012), hlm.
[5] K. Bertenz, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 22
[6] Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hlm.  17
[7] Hamzah Ya’kub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah, (Suatu Pengantar), ( Bandung: CV, Diponegoro, 2000 ), hlm.  12

[8] Donald M. Broom, the evolution of morality and religion, (canbrige : university press, 2003) hlm, 27
[9] Donald M. Broom., hlm 28
[10] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo,2002), cet. ke-3 , hlm. 7
[11] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, cet- 2 (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 73.
[12] Q.S Al-Baqarah (2): 29
[13] Q.S Luqman (31): 20; Q.S Taha (20): 13.
[14] Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum,(Bandung: Pustaka Setia, 2011) hlm. 100-103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar