PEMBAHASAN
A. Landasan Agama Dalam Etika
1. Sumber Agama Dalam Etika
(Akhlak)
a.
Sumber Akhlak
Dalam Islam, Al Qur
an
dan As-Sunnah selain dijadikan sebagai pegangan hidup juga dijadikan sebagai
dasar atau alat pengukur baik buruknya sifat seseorang. Apa yang baik menurut
Al Qur
n dan
As-Sunnah itu berarti baik dan harus dijalankan, sedangkan apa yang buruk
menurut Al Qur
n dan
Sunnah berarti tidak baik dan harus dijauhi.[1]
Sebagai dasar
umum dari pendidikan akhlak adalah QS. At-Tahrim
ayat 6 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S. At-
Tahrim/66 : 6). [2]
Sumber akhlak
adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana
keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlak adalah al-Qur’an dan sunnah, bukan akal
pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral.
b.
Materi
Pendidikan Akhlak
Pendidikan
akhlak bernuansa moralitas diasaskan pada petunjuk nabi SAW. yaitu
pengejawantahan setiap konsep pendidikannya berdasarkan akhlakul karimah.
Yanuhar Ilyas
menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial,
makhluk penghuni dan yang
memperoleh bahan dari
kehidupan dari alam serta
sebagai makhluk ciptaan Allah. Adapun ruang lingkup akhlak adalah sebagai
berikut:
1)
Akhlak Terhadap
Allah SWT
Titik tolak akhlak terhadap
Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia
memiliki sifat-sifat terpuji.
Akhlak seorang hamba dengan
sang pencipta. Manusia sebagai makhluk dan Allah SWT sebagai pencipta alam.
Akhlak terhadap Allah yang dimaksudkan yaitu dengan menjalankan apa yang
menjadi perintah dan menjauhi apa yang menjadi larangan.
Cinta dan ridho terhadap
ketetapan Allah SWT. Hal tersebut merupakan wujud akhlak manusia kepada sang
pencipta. Dengan mencintai sesama makhluk Allah SWT. dan ridho terhadap
takdir Allah SWT.
Bersyukur kepada Allah SWT.
merupakan wujud dari perilaku yang harus dimiliki oleh seorang muslim.
Bersyukur terhadap nikmat dan rahmat yang telah Allah limpahkan.
2) Akhlak Terhadap Rasulullah
SAW
Mengikuti Rasulullah SAW.
adalah salah satu bukti kecintaan seorang hamba terhadap Allah SWT. Allah
berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا
لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ
تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (QS.
An-Nisa’ 4:64).[3]
3) Akhlak Pribadi
Islam mengajarkan
seorang muslim selalu berbuat baik. Kebaikan berasal dari diri muslim itu
sendiri. Satu kebaikan akan mengundang kebaikan-kebaikan yang lainnya. Sikap
suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa sedikitpun rasa benci dan
keinginan untuk membalas merupakan akhlak mulia. Dan akan mendatangkan
kemuliaan-kemuliaan yang lebih banyak lagi.
Akhlak terbagi menjadi dua macam yaitu:
a) Akhlak yang baik (akhlak
al-karimah)
b)
Akhlak yang
buruk (akhlak al-mazmumah)
Akhlak mahmudah terdiri dari: semua perbuatan
yang mengandung nilai positif, membuat hati menjadi tenang, memberi manfaat
bagi diri sendiri dan orang lain.
Sedangkan akhlak
mazmumah terdiri dari semua perbuatan
yang mengandung nilai negatif, membuat kekacauan diri sendiri maupun lingkungan
sekitar dan memberi kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain.
Akhlak al-karimah adalah
menuju dan menghampiri diri seseorang dan umat kepada Allah Yang Maha karim.
Atau istilah akhlak menuju pribadi taqwa. Atau bisa diartikan bahwa menuju
akhlak al-karimah yaitu dengan jalan ketaqwaan. Akhlak jika ditinjau dari satu
sisi memiliki hubungan erat dengan agama yaitu terciptanya sikap hilm. Taat melaksanakan ibadah secara
terus menerus.
Atau dengan definisi taqwa
secara sederhana yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya. Atau lebih ringkas lagi
“mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan
proses ketaqwaan tersebut akan merubah prilaku seorang muslim menjadi perilaku
yang mencerminkan sebuah ketaqwaan dengan sendirinya.
2. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos
( kata tunggal) yang berarti : tempat tinggal, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta, etha,
yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama pengertianya dengan
moral. Moral berasal dari kata latin: Mos (bentuk tunggal), atau mores (bentuk
jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak,
cara hidup.[4]
Menurut Bertens ada dua pengertian etika: sebagai praktis dan sebagai
refleksi. Sebagai praktis, etika berarti nilai- nilai dan norma norma moral
yang baik yang dipraktikkan atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya
dipraktikkan. Etika sebagai praktis sama artinya dengan moral atau moralitas
yaitu apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebgainya.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral.[5]
Adapun
menurut Burhanuddin Salam, istilah etika berasal dari kata latin,yakni “ethic,
sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu
a body of moral principle or value Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan,
habit. Jadi,
dalam pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah yang sesuai
dengan kebiasaan masyarakat (pada saat itu). Lambat laun pengertian etika itu
berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia.
Perkembangan pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika adalah
suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana
yang dinilai baik dan mana yang jahat. Istilah lain dari etika, yaitu moral,
asusila, budi pekerti, akhlak. Etika merupakan ilmu bukan sebuah ajaran. Etika
dalam bahasa arab disebut akhlak, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti
adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab, dan agama.[6]
Istilah etika diartikan sebagai suatu perbuatan standar (standard of conduct) yang memimpin individu, etika adalah suatu
studi mengenai perbuatan yang sah dan benar dan moral yan dilakukan seseorang[7]
Menurut Webster Dictionary, secara
etimologis, etika adalah suatu disiplin ilmu yang menjelaskan sesuatu yang baik
dan yang buruk, mana tugas atau kewajiban moral, tau bisa juga mengenai
kumpulan prinsip atau nilai moral.
Etika adalah cabang filosofi yang berkaitan dengan pemikiran dengan
pemikiran tentang benar dan salah. Simorangkir menilai etika adalah hasil usaha
yang sistematik yang menggunakan rasio untuk menafsirkan pengalaman moral
individu dan untuk menetapkan aturan dalam mengendalikan perilaku manusia serta
nilai-nilai yang berbobot untuk bisa dijadikan pedoman hidup. Satyanugraha
mendefenisikan etika sebagai nilai-nilai dan norma moral dalam suatu
masyarakat.Sebagai ilmu, etika juga bisa diartikan pemikiran moral yang
mempelajari tentang apa yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan.
3. Urgensi Agama Bagi Manusia
Defenisi agama
dapat diajukan pada makna ad-dien (arab) atau religion (inggris). Dalam bahasa
sansekerta, agama berasal dari dua kata, yaitu “a” berarti “ tidak” dan “gam”
berarti “pergi”. Jadi agama mengandung arti “tidak pergi”, tetap di tempat
diwarisi turun temurun. Argumentasi pendapat ini didasarakan pada kenyataan
bahwa agama dalam kehidupannya bahwa ternyata memang mempunyai sifat turun
temurun atau anak-anak akan belajar dan memungut agama sesuai dengan agama
orangtuanya.
Pendapat lain tentang agama
adalah agama berarti teks atau kitab suci, karena kata “gam” dalam kata
a-gam-a, berarti tuntunan.jadi agama bisa dikatakan yang mempunyai tuntunan,
yaitu kitab suci. St.Sunardi menjelaskan yang dimaksud dengan agama, berarti
regilion, religio, religie, godsdient, dan ad-dien. Dia berpendapat bahwa dalam
sejarah barat, penggunaan kata religio dalam arti konkretnya lebih menunjuk
segi religiusitas seseorang daripada suatu konsep teknis dan abstrak atau iman
konkret daripada lembaga. Hans Kung menambahkan bahwa pada abad ke 16 kata
religio baru tergenalisasi dalam konsep yang dianggap sebagai konsep yang
ambigu. Artinya, konsep religio mencakup segi-segi yang sama sekaligus tidak
sama, segi-segi subjek sekaligus objektif sehingga menerangkan kata religio
serumit menerangkan kata seperti Allah dan Waktu.
Secara terminologi agama
merupakan suatu sistem kepercayaan kepada tuhan yang di anut oleh sekelompok
manusia dengan cara selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan
yang di bahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungan
anatara manusia dengan Tuhan, sedangkan paham yang tidak mengakui agama bisa di
sebut “Ateisme”.
Pengertian Ateisme sangat
bermacam-macam dalam konteks indonesia, ateisme sering dikaitkan dengan
komunisme, walaupun sesungguhnya penganut ateisme,atau lebih tepatnya mereka
yang mengaku sebagai ateis tidak terbatas hanaya dengan komunis. Komunisme
menjadi amat penting sebagai gerakan ateis karena sistem doktrinnya yang
lengkap dan rapi, serta gerakannya yang mendunia. Dasar ateis adalah paham yang
mengingkari adanya tuhan sebagai wujud yang mutlak, mahatinggi, dan
transendental. Bagi kaum ateis, yang ada bukan tuhan tetapi alam kebendaan dan
kehidupan pun terbatas hanya di dunia.
Dalam sejarah barat, ateisme
sangat banyak. Ada yang tidak beraliran seperti Frederich Nietzche yang mengaku
telah membunuh tuhan, ada juga yang terbagi pada Ateis-Antropologi dipelopori
oleh Fenerbech yang mengatakan bahwa agama adalah proyeksi manusia yang sama
sekali tidak bersifat jasmani. Ateis-Sosio-Politis digawangi oleh Karl Marx
yang berpendapat bahwa agama adalah candu. Ateis psikonalitis digawangi oleh
Sigmund Freud yang mengatakan adalah ilmu sebagai yang tidak sehat dan bayangan
dari rasa takut atau gagasan yang khayali.
Islam tidak
toleransi terhadap ateisme. Setiap manusia harus beriman kepada Allah SWT, dan
bagi yang tidak beriman disebut musyrik, yahudi,nasrani, atau kafir. Menurut
Hassan Hanafi, jika didasarkan pada perkembangan transformasi kehidupan
beragama, erma religion dalam konteks islam harus diartikan secara luas, tidak
hanya keperluan dan ideologi yang diterjemahkan dalam ritual dan puji-pujian.
Terma agama harus pula mengejawantahkan nilai-nilai ethis. Defenisi Hasan
Hanafi semakin memperjelas bahwa terdapat hubungan kuat agama dalam
pengembangan ilmu dan etika apalagi Al-Quran, sebagaimana yang ditulis
Dr.A.MuktiAli merupakan kitab suci yang berpengaruh dalam perkembangan
ilmu-ilmu dalam beragam disiplin, sedangkn nilai-nilai dalam etika merupakan
pengendali dari sikap dan perilaku manusia dalam memperlementasikan ajaran
agama dan kekuatan ilmu dalam kehidupan nyata
(empiris).
4. Kesatuan Antara Etika Dan Agama
Etika tidak dapat menggantikan
agama . agama merupakan hak yang tepat untuk memberikan orientasi moral.
Menurut Donald M.Broom, ada tiga
argument utam berkaitan dengna moralitas agama. Pertama, kode moral adalah komponen inti agama, kedua, beberapa bentuk agama adalah
konsekuensi yng tak terelakan dan perlu adanya tindakan moral dan ketiga, agama sangat berharga untuk
semua aspek yang normative dalam agama. Oleh sebab itu, penting untuk
meembedakan antara dasar-dasar agama dan struktur ritual yang banyak membantu
individu dalam memahami, mematuhi, dan memperaktikan agama. Gagasan tentang
kebaikan bersama dan semangat bertuhan yang lebih mengutamakan kepentingan umum
di banding kepentingan individu, membantu system moral untuk tetap berfungsi[8]
Kode moral yang begitu rumit merupakan dinamika dari dampak positif
maupun negative bagi individu yang memiliki efektivitas dan universalitas yang
lebih besar jika mereka di jabarkan. Moral dan set kepercayaan lain yang
relevan dengan perilaku manusia mungkin tidak dapat di sebut agama, tetapi akan
muncul sebagai struktur system moral yang mendorong peningkatan kerja sama.
Argumentsi bahwa agama memiliki dasar biologis menganggap bahwa pada dasarnya
manusia sebagai makhluk beragama setuju bahwa agama adalah pemahaman progresif
rohani.
Hal itu mengacu pada landasan biologis untuk menajlankan agama dan isenya
mengenai roh kudus dan tuhan sebagai semua melihat, tetapi murah hati dalam
kaitannya dengan isu moral. Banyak filsuf mengacu pada kode moral atau
keagamaan “bergantung pada intuisi atau kepercayaan di anggap “ dengna ide
dasar bahwa ini berasal dari fungsi individu . pandangan bahwa kecenderungan
untuk keyakinan agama adalah yang paling kompleks dan kekuatan dalam pikiran
manusia serta dalam kemungkinan yang dihilangkan bagian dari sifat manusia .[9]
5. Kebebasan Dan Kepatuhan Akan
Ajaran Agama
Peerilaku moral rasional ini di tandai dengan adanya pengakuan in
individu pda dogma-dogma normatif yang bersumber dari susyriat bahkan dapat di
katakana bahawa bukti nyata seseorang itu bebas adalah menjadikan agama
sebagai nilai moral yang kokoh dalam
kehidupannya. Dalam bahsa yang lebih ekstreem, dapat di katakana bahwa semakin
bebas seseorang , semakin pulatu pula ia memegang dan menjunjung tinggi agama.
Manusia adalah makhluk yang secara bebas adapat menentukan perilaku moralnya ,
tetapi bukan berarti bahwa kehadiran syariat menjadi sesuatu yang dapat
menggangggu dan atau mengurangi eksistensi kebebasan manusia . yang jelas,
selalu di tandai dengan keseriusan dan ketekunannyamenjalankan berbagai syariat
agama sehingga termanifestasi dalam kehidupan kesehariannya, baik dalam
kaitannya dengan sesame manusia.
Moralitas sebagai hasisl upaya rasional manusia dalam menentukan sesuatu
, semestinya sejalan dengan apa yang di tenttukan oleh noramtifitas agama
sehngga moralitas senantiasa di tandai dengan upaya manusia menjalaankan
syariat agama yang telah di tenttukn, hal ini mengingat rasionalitas dan nalar
fitri manusia selalu menginginkan yang baik
dan bajik, sedangkan norma agama berisi nilai-nilai kebaikan dan
kebajikan yang di butuhkan . segala sesuatu yang tertuang di dalam norma-norma
agama akan sesalu dapat di terima oleh akal fitri manusia yang memangn
menginginkannya.
Jadi, ada hubungan signifikan antara kebebasan manusia dalam memilih nilai-nilai
moral dan mematuhi ajaran dan normativitas agama. Dengan demikian, kebebasan
manusia berimflikasi pada ketundukan dan kepatuhannya kepada nilai-nilai
normativitas agama. Ketika manusia telah menerima nilai nilai agama sebagai
sebuah kebenaran dan ia telah menyakini bahawa nilai tersebut adalah benar,
iapun mesti berpegang teguh dengannya sebagai bukti bahwa ia bertnggung jawab
atas pilihannya. Bukannkah manusia baru dapat melakukan pemilihan dan
penerimaan apabila ia di beri kebebasan ? karena ia bebeas meniscayakan dirinya
bertanggung jawab atas apapun yang telah ia pilih.[10]
Dalam makna lain, ketika seseorang berdasarkan pencariannya yang sejati
telah menemukan sesuatu kebenaran nilai moral, ia pun harus terikat dengan apa
yang telah ia yakini sebagai sebuah kebenaran. Jadi, kepatuhan terhadap
nilai-nilai moral dalam hal hal ini merupakan lambang atau bukti nyata bahwa
seseorang itu bertanggung jawab atas hasil
pilihannya. Lebih tegas lagi, dapat dikatakan bahwa semakin patuh seseorang
pada nilai-nilai moral yang telah yakini benar, semakin mampu ia membuktikan
bahwa nilai-nilai moralnya didasarkan pada pertimbangan bebasnya. Tidak ada
unsur-unsur kepentingan lain yang telah memaksanya untuk mengambil keputusan
moral untuk dirinya.
Sikap ini menuntut adanya upaya maksimal seseorang untuk meningkatkan
dirinya setinggi mungkin demi kebahagiaan dirinya yang memberikan konsekuensi
kemajuan bagi umat manusia. Secara psikologis, manusia tidak dapat melepaskan
diri dari keinginan-keinginannya untuk mengutamakan kepentingan pribadinya
sendiri daripada kepentingan orang lain, tetapi tidak pula dapat dipungkiri
bahwa manusia juga tidak dapat hidup sendiriran. Eksistentensi orang lain juga
merupakan penopang bagi eksistensinya. Selalu terjadi proses interdependensi
antara individu yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, kedua fungsi
psikologis ini harus mendapatkan porsi yang sama dalam pengembangan kemanusiaan
seseorang.
Eksistensi agama dalam kehidupan manusia memang diperlukan terutama dalam
menghadapi berbagai tantangan kehidupan itu sendiri. Aspek agama tidak dapat
diabaikan begitu saja. Agama diperlukan sebagai sumber otonom penting dalam
dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena didalam agama tertuang berbagai aspek yang mendukung
perjuangan kemanusian, manusia yang bernaung didalamnya, harus memandang agama
dalam konteks normatif-historis sebagai suatu yang dapat dipandang layak.
Hanya, konstruksi pemikiran yang bagaimana yang dapat dipahami seperti
demikian? Sebab, ada aspek-aspek penting didalamnya yang tidak dapt diubah sama
sekali, terutama apabila hal itu menyangkut persoalan keimanan dan hukum-hukum
tertentu.
Pada titik ini pula, teologi islam dipijakkan, yaitu suatu pemikiran yang
hendak menguraikan salah satu tugas kekhalifahan manusia yang berdasarkan pada
kebebasan adalah pengendalian hawa nafsu untuk mendapatkan pengetahuan spiritual safety net dan perolehan
kembali kebahagiaan yang pernah terlepas.
Konsep kekhalifahan manusia ini, menurut Nurcholish, berdasarkan tafsir
atas drama kosmis, juga terkait dengan konsep tauhid, disamping, juga terkait
dengan taskhir dan taslim.[11]
Taskhir berarti penundukan alam untuk umat manusia merupakan konsekuensi dari
tugas kekhalifahan. Karena manusia memiliki tugas sebagai wakil Tuhan di muka
bumi, Allah SWT. Menciptakan segala sesuatu di bumi ini untuk manusia.[12]
Allah SWT. Menundukan atau membuat segala sesuatu lebih rendah (sakhara) dan
segala sesuatu yang ada dijagat raya beserta segenap benda dan gejala alam
(matahari dan bulan, siang dan malam, lautan, angin, kapal yang belayar
dilautan, sungai-sungai dan hewan ternak) untuk manusia.[13]
Taskhir merupakan konsep yang menegaskan
bahwa manusia adalah puncak ciptaan Tuhan. Sebagai makhluk tertinggi, manusia
harus melihat ke atas hanya kepda Tuhan, terhadap sesamanya harus melihat dalam
garis mendatar yang rata, dan kepada alam, ia harus melihat kebawah, dalam arti
alam berada dalam hirarki yang lebih rendah. Konsep taskhir ini menjadi dasar
dari pokok tauhid, yaitu hanya menyerah pasrah kepada Allah SWT. Dan tidak
mempersekutukan Allah SWT dengan memuja alam atau memandang alam atau manusia
lain lebih tinggi dari diri. Kemusyrikan dalam kerangka taskhir adalah
pengingkaran kenyataan bahwa alam sudah disediakan untuk diatur oleh manusia.
Dengan demikian, konsep taskhir berkolerasi sangat kuat dengan konsep tauhid,
atau sebaliknya tauhid melibatkan pandangan
taskhir.[14]
Penutup
kesimpulan
Etika
berasal dari bahasa Yunani ethos (
kata tunggal) yang berarti : tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan,
adat, watak, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta, etha, yang
berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama pengertianya dengan
moral. Moral berasal dari kata latin: Mos (bentuk tunggal), atau mores (bentuk
jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak,
cara hidup.
Adapun menurut
Burhanuddin Salam, istilah etika berasal dari kata latin,yakni “ethic,
sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu
a body of moral principle or value Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan,
habit. Jadi,
dalam
pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah yang sesuai dengan
kebiasaan masyarakat (pada saat itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah
dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Perkembangan
pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika adalah suatu ilmu
yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang
dinilai baik dan mana yang jahat. Istilah lain dari etika, yaitu moral,
asusila, budi pekerti, akhlak.
agama berarti teks atau
kitab suci, karena kata “gam” dalam kata a-gam-a, berarti tuntunan.jadi agama
bisa dikatakan yang mempunyai tuntunan, yaitu kitab suci. St.Sunardi
menjelaskan yang dimaksud dengan agama, berarti regilion, religio, religie,
godsdient, dan ad-dien. Dia berpendapat bahwa dalam sejarah barat, penggunaan
kata religio dalam arti konkretnya lebih menunjuk segi religiusitas seseorang
daripada suatu konsep teknis dan abstrak atau iman konkret daripada lembaga.
Hans Kung menambahkan bahwa pada abad ke 16 kata religio baru tergenalisasi
dalam konsep yang dianggap sebagai konsep yang ambigu. Artinya, konsep religio
mencakup segi-segi yang sama sekaligus tidak sama, segi-segi subjek sekaligus
objektif sehingga menerangkan kata religio serumit menerangkan kata seperti
Allah dan Waktu.
Etika
tidak dapat menggantikan agama . agama merupakan hak yang tepat untuk
memberikan orientasi moral. Menurut Donald
M.Broom, ada tiga argument utam berkaitan dengna moralitas agama. Pertama, kode moral adalah komponen inti
agama, kedua, beberapa bentuk agama
adalah konsekuensi yng tak terelakan dan perlu adanya tindakan moral dan ketiga, agama sangat berharga untuk
semua aspek yang normative dalam agama. Oleh sebab itu, penting untuk
meembedakan antara dasar-dasar agama dan struktur ritual yang banyak membantu
individu dalam memahami, mematuhi, dan memperaktikan agama. Gagasan tentang
kebaikan bersama dan semangat bertuhan yang lebih mengutamakan kepentingan umum
di banding kepentingan individu, membantu system moral untuk tetap berfungsi
Peerilaku
moral rasional ini di tandai dengan adanya pengakuan in individu pada
dogma-dogma normatif yang bersumber dari susyriat bahkan dapat di katakana
bahawa bukti nyata seseorang itu bebas adalah menjadikan agama sebagai nilai moral yang kokoh dalam kehidupannya.
Dalam bahsa yang lebih ekstreem, dapat di katakana bahwa semakin bebas
seseorang , semakin pulatu pula ia memegang dan menjunjung tinggi agama.
Manusia adalah makhluk yang secara bebas adapat menentukan perilaku moralnya ,
tetapi bukan berarti bahwa kehadiran syariat menjadi sesuatu yang dapat
menggangggu dan atau mengurangi eksistensi kebebasan manusia . yang jelas,
selalu di tandai dengan keseriusan dan ketekunannyamenjalankan berbagai syariat
agama sehingga termanifestasi dalam kehidupan kesehariannya, baik dalam
kaitannya dengan sesame manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,( Jakarta: Raja Grafindo,
2012)
Asmaran
As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta:
PT Raja Grafindo,2002), cet. ke-3
Donald M. Broom, the
evolution of morality and religion, (canbrige : university
press,
2003)
K. Bertenz, Etika, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2007),
Muhammad
Alfan, Filsafat Etika Islam, ( Bandung:
CV Pustaka Setia, 2011),
Hamzah
Ya’kub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul
Karimah, Suatu Pengantar, (
Bandung:
CV, Diponegoro, 2000),
Nurcholish Madjid,
Islam Doktrin dan peradaban, cet-2 (Jakarta: Paramadina,
2000),
Depag, Al- Quran T
ajwid dan Terjemahnya (Q.S Al-Baqarah (2): 29)
Muhammad Nuh, Etika
Profesi Hukum,(Bandung: Pustaka Setia, 2011)
M. Ali Hasan, Tuntunan
Akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang, 2001),
[1] M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta : Bulan
Bintang, 2001), hlm. 11
[2] Depag, Al- Quran T ajwid dan Terjemahnya.. (Q.S.
At-Thahrim/ 66 : 6 )
[3]
Depag, Al- Quran T ajwid dan Terjemahnya
. (An-Nisa’ :4:64)
[4] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,( Jakarta: Raja Grafindo, 2012), hlm.
[5] K. Bertenz, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2007), hlm. 22
[6] Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, ( Bandung: CV
Pustaka Setia, 2011), hlm. 17
[7] Hamzah Ya’kub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah,
(Suatu Pengantar), ( Bandung: CV, Diponegoro, 2000 ), hlm. 12
[8] Donald M. Broom, the evolution of morality and religion, (canbrige
: university press, 2003) hlm, 27
[9]
Donald M. Broom., hlm 28
[10] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo,2002), cet. ke-3
, hlm. 7
[11] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, cet- 2 (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. 73.
[12]
Q.S Al-Baqarah (2): 29
[13]
Q.S Luqman (31): 20; Q.S Taha (20): 13.
[14]
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum,(Bandung:
Pustaka Setia, 2011) hlm. 100-103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar